Kaidah Dasar Tafsir
Al-Qur’an
adalah kitab suci umat Islam. Ia merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa
Arab yang diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.
Al-Qur’an bukanlah teks bisu tanpa makna, ia memuat dasar-dasar hukum dalam
ajaran Islam. Ia adalah pedoman seorang muslim dalam menjalani kehidupannya
agar bahagia dunia akhirat. Untuk itu, al-Qur’an perlu dipelajari, dikaji, dan
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dalam
mempelajari al-Qur’an agar bisa ditangkap maksud-maksud yang terkandung di
dalamnya, kita tentu memerlukan seperangkat ilmu yang berkenaan dengannya,
khususnya yang berkenaan dengan proses penafsiran. Dalam makalah ini, kami akan
membicarakan tentang kaidah-kaidah dasar tafsir, syarat menjadi mufassir, dan
faktor pendorong kesalahan dalam penafsiran.
A.
Kaidah Dasar Tafsir
Sebelum
menjelaskan tentang kaidah tafsir, terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud
dengan kaidah. Kata “kaidah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
dengan: “Rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu, patokan, dalil
(dalam matematika).
Dalam bahasa
Arab kata قاعدة diartikan
“asas/fondasi” jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika
ia dikaitkan dengan “kemah”.
Dalam
pengertian istilah, kaidah sebagaimana dijelaskan oleh Syarif Ali bin Muhammad
al-Jurjani (w. 1413 M) dalam kitab al-Ta’rifat menulis bahwa: kaidah
adalah rumusan yang bersifat kulli (menyeluruh) mencakup semua
bagian-bagiannya.
Ada pula yang
merumuskan sebagai ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan
menyangkut rincian.[1]
Ibn Taimiyyah
dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan, “Jika ada orang yang
bertanya: apakah cara terbaik untuk menafsirkan al-Qur’an, maka jawabannya
adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Apabila engkau tidak menemukan
penafsirannya pada al-Qur’an, maka tafsirkanlah dengan sunnah karena
sesungguhnya ia memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an. Apabila tidak kau
temukan tafsirnya dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah
kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi Saw karena mereka paling mengetahui
sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya al-Qur’an dan
situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang dari Nabi.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam al-Qur’an dan sunnah serta tidak pula
penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk perkataan tabi’in.[2]
1.
Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Sebagian
ayat-ayat al-Qur’an memberikan penafsiran terhadap ayat yang lain. Penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an itu sendiri tidak ada perbedaan di
kalangan ulama karena mereka semua sepakat bahwa ada ayat al-Qur’an yang
diturunkan untuk menjelaskan ayat yang lain. Sebagian ayat akan menjadi jelas
maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat lain.
Ayat al-Qur’an
yang dijelaskan secara umum di suatu tempat dijelaskan secara rinci di tempat
lain. Bagian yang belum terjelaskan pada suatu tempat (mubham) dijelaskan pada
tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan pengertiannya (muthlaq) pada
suatu tempat menjadi terikat (muqayyad) pada tempat yang lain. Ayat yang
bersifat umum (‘am) pada suatu konteks diperinci (di-takhshis) pada konteks
yang lain.
Rasulullah
adalah orang yang mencontohkan dan mengajarkan penggunaan metode tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an ini. Hal ini bisa dilihat ketika sahabat membaca
ayat al-Qur’an yang berbunyi:
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. al-An’am : 82)
Membaca ayat
tersebut, sahabat merasa khawatir dan takut sebab secara tekstual, hanya
orang-orang yang tidak mencampurkan iman mereka dengan kezalimanlah yang akan mendapat
petunjuk dan keamanan. Oleh sebab itu, mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, siapakah di antara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri
?” Nabi menjawab, “Bukan seperti itu maksud ayat tersebut, kezaliman
yang dimaksud adalah kemusyrikan.”
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman : 13).
Di antara ayat-ayat
al-Qur’an yang dinilai ditafsirkan dengan ayat lainnya adalah sebagai berikut.
a.
QS.
al-Fatihah ayat 6 dengan QS. al-Fatihah ayat 7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,”
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu) jalan orang-orang yang Telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.”
b.
QS.
ad-Dukhan ayat 3 dengan QS. al-Qadr 1-5
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ
فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
“ Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran)
pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS.
al-Qadr 1-5).
2.
Tafsir
al-Qur’an dengan Sunnah
Penafsiran
al-Qur’an dengan Sunnah didasarkan atas firman Allah sebagai berikut,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ . بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu
kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui, Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan
kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl
43-44).
Berkenaan
dengan prinsip di atas, Imam Syafi’i, sebagaimana telah dikutip oleh Ibn
Taimiyah, mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah merupakan
pemahaman yang berasal dari al-Qur’an. Pendapat tersebut didasarkan atas firman
Allah dan Hadis Nabi berikut.
إِنَّا أَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya
kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat.”(QS. an-Nisa : 105).
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa aku
diberi al-Qur’an dan yang semisalnya (hadis) bersamanya.” (HR. Abu Daud).
Peran Rasul
bagi al-Qur’an meliputi:
a.
Menjelaskan
(mubayyan) bagian yang global (mujmal) dan mengkhususkan (men-takhshih)
yang umum (‘am).
b.
Menjelaskan
arti dan kaitan kata tertentu dalam al-Qur’an.
c.
Memberikan
ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah termuat dalam
al-Qur’an, seperti zakat fitrah.
d.
Menjelaskan
penghapusan (nasakh) ayat.
e.
Menegaskan
hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
Contoh penafsiran al-Qur’an dengan Sunnah antara lain sebagai
berikut.
Hamka dalam tafsir al-Azharnya mengutip riwayat dari Abd bin Humaid
dari ar-Rabi’ bin Anas bahwa suatu ketika orang bertanya kepada Rasulullah
tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang sesat (al-dhallin). Lalu
Rasulullah menjawab, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah
Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang sesat adalah Nasrani.”[3]
Contoh
lain, yang berkenaan dengan firman Allah:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ . فَسَوْفَ يُحَاسَبُ
حِسَابًا يَسِيرًا
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Maka
dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,” (QS. al-Insyiqaq : 7-8).
Ali al-Shabuni dalam kitab al-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an
menulis bahwa Nabi SAW menjelaskan tentang maksud lafal utiya dengan
menampakkan perbuatan, sedangkan yuhsabu maksudnya disiksa.
3.
Tafsir
al-Qur’an dengan perkataan Sahabat (Qaul Shahabah)
Sahabat adalah
generasi awal Islam yang bertemu dengan Nabi SAW dan meninggal dalam keadaan
beriman. Sebagai generasi awal, kehidupan mereka sangat dekat dengan Nabi SAW
dan telah bersama beliau SAW dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka
menyaksikan langsung dan mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat.
Generasi sahabat melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar oleh
generasi sesudahnya. Mereka mempunyai pemahaman yang mendalam tentang
maksud-maksud ayat dalam al-Qur’an karena mereka sering bersama Nabi SAW dan
ketika mereka tidak memahami maksud suatu ayat, mereka langsung menanyakannya
kepada Nabi SAW, sehingga penafsiran mereka patut dipertimbangkan.
Abdullah bin
Mas’ud berkata, “Demi Allah, tidaklah diturunkan suatu ayat al-Qur’an kecuali
aku mengetahui berkenaan dengan siapa dan di mana ayat tersebut
diturunkan. Jika aku mengetahui suatu
tempat seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah dari pada aku, walaupun untuk
menuju tempat tersebut diperlukan kendaraan (tunggangan) karena jauh, maka akan
aku datangi.”[4]
Terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai kedudukan tafsir shahabi
ini. Al-Hakim, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi, berpendapat bahwa tafsir
sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu disebut marfu’. Sedangkan ulama
lain seperti Ibn Shalah serta ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang marfu’
itu hanya yang berkenaan dengan asbabun nuzul-nya, sedangkan yang
lainnya dinilai mauquf.[5]
Jika para sahabat telah ber-ijma dalam suatu permasalahan
dan mereka menyepakitnya, maka hal tersebut menunujukkan bahwa perkataan tersebut
memiliki dasar dari sunnah, walaupun mereka tidak mengungkapkannya secara
jelas. Tetapi jiak ada perselisihan di antara mereka, maka kita boleh memilih
salah satu pendapat mereka yang paling mendekati kebenaran. Demikianlah
pendapat Yusuf al-Qardawi yang ia tuangkan dalam kitabnya yang telah
diterjemahkan dengan judul “Al-Qur’an dan As Sunnah: Referensi Tertinggi
Umat Islam”.
4.
Tafsir
al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in
Imam al-Zarqani
dalam Manahilul ‘Irfan menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai
tafsir tabi’in ini. Sebagian mereka memandang bahwa tafsir ini tergolong dalam
tafsir bi al-ma’tsur karena penafsiran mereka sebagian besar diterima
dari para sahabat. Sedangkan yang lain memandangnya sebagai tafsir bi
al-ra’yi.
Kelompok kedua
ini, sebagaimana dikutip oleh al-Shabuni, berpendapat bahwa kedudukan tabi’in
sama dengan para mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan
al-Qur’an dengan berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan
pertimbangan atsar (hadis).
Berkenaan
dengan kriteria tafsir bi al-ma’tsur, Imam al-Zarqani mengkategorikan tafsir
tersebut dalam dua macam. Pertama, tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan
shahih dan dapat diterima. Jenis yang pertama ini harus diterima dan tidak
boleh diabaikan. Kedua, tafsir yang
dalil atau sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor. Tafsir jenis ini harus
ditolak.
Daftar
Pustaka
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. 1990. Mabahis fi Ulumil Qur’an. TK: Mansyurat al-‘ashr
al-hadist.
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terj. Mudzakkir AS. Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa,
Asy-Syirbashi,
Ahmad. 1994. Sejarah Tafsir Qur’an. Pustaka Firdaus.
Chirzin,
Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Hadna, Ahmad
Musthofa. 1993. Problematika Menafsirkan Al-Qur’an. Semarang: Dina Utama
Semarang.
Hamka, 1982. Tafsir Al Azhar,
juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, Quraish. 2013. Kaidah
Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Taimiyyah, Ibn.
1971. Muqaddimah fi Ushulit Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
[1] Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 6
[2] Ibn
Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Kuwait: Dar al-Qur’an
al-Karim, 1971) hlm. 93
[3] Hamka, Tafsir
Al Azhar, juz 1, (Jakarta: Pustaka Panjumas, 1982), hlm. 93
[4] Ibn
Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir. Hlm. 96
[5] As
Suyuthi, Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 179
great........
BalasHapuswkwk makasih, belajar nulis u :D
HapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapus