Selasa, 24 Februari 2015

Kaidah Dasar Tafsir

Kaidah Dasar Tafsir
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Ia merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an bukanlah teks bisu tanpa makna, ia memuat dasar-dasar hukum dalam ajaran Islam. Ia adalah pedoman seorang muslim dalam menjalani kehidupannya agar bahagia dunia akhirat. Untuk itu, al-Qur’an perlu dipelajari, dikaji, dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dalam mempelajari al-Qur’an agar bisa ditangkap maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, kita tentu memerlukan seperangkat ilmu yang berkenaan dengannya, khususnya yang berkenaan dengan proses penafsiran. Dalam makalah ini, kami akan membicarakan tentang kaidah-kaidah dasar tafsir, syarat menjadi mufassir, dan faktor pendorong kesalahan dalam penafsiran.

A.  Kaidah Dasar Tafsir
Sebelum menjelaskan tentang kaidah tafsir, terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan kaidah. Kata “kaidah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan: “Rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu, patokan, dalil (dalam matematika).
Dalam bahasa Arab kata قاعدة diartikan “asas/fondasi” jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika ia dikaitkan dengan “kemah”.
Dalam pengertian istilah, kaidah sebagaimana dijelaskan oleh Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 1413 M) dalam kitab al-Ta’rifat menulis bahwa: kaidah adalah rumusan yang bersifat kulli (menyeluruh) mencakup semua bagian-bagiannya.
Ada pula yang merumuskan sebagai ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[1]
Ibn Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan, “Jika ada orang yang bertanya: apakah cara terbaik untuk menafsirkan al-Qur’an, maka jawabannya adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Apabila engkau tidak menemukan penafsirannya pada al-Qur’an, maka tafsirkanlah dengan sunnah karena sesungguhnya ia memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an. Apabila tidak kau temukan tafsirnya dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi Saw karena mereka paling mengetahui sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya al-Qur’an dan situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang dari Nabi. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam al-Qur’an dan sunnah serta tidak pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk perkataan tabi’in.[2]
1.    Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Sebagian ayat-ayat al-Qur’an memberikan penafsiran terhadap ayat yang lain. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an itu sendiri tidak ada perbedaan di kalangan ulama karena mereka semua sepakat bahwa ada ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan ayat yang lain. Sebagian ayat akan menjadi jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat lain.
Ayat al-Qur’an yang dijelaskan secara umum di suatu tempat dijelaskan secara rinci di tempat lain. Bagian yang belum terjelaskan pada suatu tempat (mubham) dijelaskan pada tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan pengertiannya (muthlaq) pada suatu tempat menjadi terikat (muqayyad) pada tempat yang lain. Ayat yang bersifat umum (‘am) pada suatu konteks diperinci (di-takhshis) pada konteks yang lain.
Rasulullah adalah orang yang mencontohkan dan mengajarkan penggunaan metode tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an ini. Hal ini bisa dilihat ketika sahabat membaca ayat al-Qur’an yang berbunyi:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
 Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am : 82)

Membaca ayat tersebut, sahabat merasa khawatir dan takut sebab secara tekstual, hanya orang-orang yang tidak mencampurkan iman mereka dengan kezalimanlah yang akan mendapat petunjuk dan keamanan. Oleh sebab itu, mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ?” Nabi menjawab, “Bukan seperti itu maksud ayat tersebut, kezaliman yang dimaksud adalah kemusyrikan.”
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
 “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman : 13).
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dinilai ditafsirkan dengan ayat lainnya adalah sebagai berikut.
a.    QS. al-Fatihah ayat 6 dengan QS. al-Fatihah ayat 7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
 Tunjukilah kami jalan yang lurus,”
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

 “(yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
b.    QS. ad-Dukhan ayat 3 dengan QS. al-Qadr 1-5
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
 “Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
 “ Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. al-Qadr 1-5).

2.    Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah
Penafsiran al-Qur’an dengan Sunnah didasarkan atas firman Allah sebagai berikut,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ . بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl 43-44).

Berkenaan dengan prinsip di atas, Imam Syafi’i, sebagaimana telah dikutip oleh Ibn Taimiyah, mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur’an. Pendapat tersebut didasarkan atas firman Allah dan Hadis Nabi berikut.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.”(QS. an-Nisa : 105).

Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa aku diberi al-Qur’an dan yang semisalnya (hadis) bersamanya.” (HR. Abu Daud).
Peran Rasul bagi al-Qur’an meliputi:
a.    Menjelaskan (mubayyan) bagian yang global (mujmal) dan mengkhususkan (men-takhshih) yang umum (‘am).
b.    Menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam al-Qur’an.
c.    Memberikan ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah termuat dalam al-Qur’an, seperti zakat fitrah.
d.   Menjelaskan penghapusan (nasakh) ayat.
e.    Menegaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
Contoh penafsiran al-Qur’an dengan Sunnah antara lain sebagai berikut.
Hamka dalam tafsir al-Azharnya mengutip riwayat dari Abd bin Humaid dari ar-Rabi’ bin Anas bahwa suatu ketika orang bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang sesat (al-dhallin). Lalu Rasulullah menjawab, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang sesat adalah Nasrani.”[3]
Contoh lain, yang berkenaan dengan firman Allah:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ . فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
 “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,” (QS. al-Insyiqaq : 7-8).
Ali al-Shabuni dalam kitab al-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an menulis bahwa Nabi SAW menjelaskan tentang maksud lafal utiya dengan menampakkan perbuatan, sedangkan yuhsabu maksudnya disiksa.
3.    Tafsir al-Qur’an dengan perkataan Sahabat (Qaul Shahabah)
Sahabat adalah generasi awal Islam yang bertemu dengan Nabi SAW dan meninggal dalam keadaan beriman. Sebagai generasi awal, kehidupan mereka sangat dekat dengan Nabi SAW dan telah bersama beliau SAW dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka menyaksikan langsung dan mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat. Generasi sahabat melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar oleh generasi sesudahnya. Mereka mempunyai pemahaman yang mendalam tentang maksud-maksud ayat dalam al-Qur’an karena mereka sering bersama Nabi SAW dan ketika mereka tidak memahami maksud suatu ayat, mereka langsung menanyakannya kepada Nabi SAW, sehingga penafsiran mereka patut dipertimbangkan.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah, tidaklah diturunkan suatu ayat al-Qur’an kecuali aku mengetahui berkenaan dengan siapa dan di mana ayat tersebut diturunkan.  Jika aku mengetahui suatu tempat seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah dari pada aku, walaupun untuk menuju tempat tersebut diperlukan kendaraan (tunggangan) karena jauh, maka akan aku datangi.”[4]
Terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai kedudukan tafsir shahabi ini. Al-Hakim, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi, berpendapat bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu disebut marfu’. Sedangkan ulama lain seperti Ibn Shalah serta ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang marfu’ itu hanya yang berkenaan dengan asbabun nuzul-nya, sedangkan yang lainnya dinilai mauquf.[5]
Jika para sahabat telah ber-ijma dalam suatu permasalahan dan mereka menyepakitnya, maka hal tersebut menunujukkan bahwa perkataan tersebut memiliki dasar dari sunnah, walaupun mereka tidak mengungkapkannya secara jelas. Tetapi jiak ada perselisihan di antara mereka, maka kita boleh memilih salah satu pendapat mereka yang paling mendekati kebenaran. Demikianlah pendapat Yusuf al-Qardawi yang ia tuangkan dalam kitabnya yang telah diterjemahkan dengan judul “Al-Qur’an dan As Sunnah: Referensi Tertinggi Umat Islam”.   
4.    Tafsir al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in
Imam al-Zarqani dalam Manahilul ‘Irfan menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir tabi’in ini. Sebagian mereka memandang bahwa tafsir ini tergolong dalam tafsir bi al-ma’tsur karena penafsiran mereka sebagian besar diterima dari para sahabat. Sedangkan yang lain memandangnya sebagai tafsir bi al-ra’yi.
Kelompok kedua ini, sebagaimana dikutip oleh al-Shabuni, berpendapat bahwa kedudukan tabi’in sama dengan para mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan pertimbangan atsar (hadis).
Berkenaan dengan kriteria tafsir bi al-ma’tsur, Imam al-Zarqani mengkategorikan tafsir tersebut dalam dua macam. Pertama, tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan shahih dan dapat diterima. Jenis yang pertama ini harus diterima dan tidak boleh diabaikan. Kedua,  tafsir yang dalil atau sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor. Tafsir jenis ini harus ditolak.

Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 1990. Mabahis fi Ulumil Qur’an. TK: Mansyurat al-‘ashr al-hadist.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terj. Mudzakkir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
Asy-Syirbashi, Ahmad. 1994. Sejarah Tafsir Qur’an. Pustaka Firdaus.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Hadna, Ahmad Musthofa. 1993. Problematika Menafsirkan Al-Qur’an. Semarang: Dina Utama Semarang.
Hamka, 1982. Tafsir Al Azhar, juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Taimiyyah, Ibn. 1971. Muqaddimah fi Ushulit Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an Al-Karim.





[1] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 6
[2] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971) hlm. 93
[3] Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 1, (Jakarta: Pustaka Panjumas, 1982), hlm. 93
[4] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir. Hlm. 96
[5] As Suyuthi, Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 179

4 komentar: